perkembangan uang beredar di indonesia
PERKEMBANGAN
UANG BEREDAR DI INDONESIA (MONETER )
A.Latar
Belakang
Semenjak krisis ekonomi menghantam
Indonesia pada pertengahan 1997, kinerja pasar modal ataupun pasar uang
mengalami penurunan tajam sehingga banyak sekali investor yang mengalami kerugian
dan bank-bank yang berada di Indonesia pun juga tidak luput terkena dampaknya
oleh kondisi ini, sehingga banyak bank-bank yang bangkrut karena tidak bisa
mengembalikan pinjaman atau utangnya dalam bentuk mata uang asing, karna nilai
tukar mata uang rupiah sangat kecil karna terpaut 1$ = Rp16500 .Pemerintahan
indonesia tersebut sangat kacau kala itu, sehingga untuk mencegah terjadinya
krisis ekonomi yang lebih parah, banyak bank-bank yang disuntikan dana BLBI
oleh pemerintah guna untuk menstabilkan perekonomian indonesia dan ada juga
beberapa bank yang meleburkan diri untuk membentuk 1 bank agar tercegah dari
kebangkrutan yang lebih parah lagi yaitu bank mandiri yang terbentuk dari
peleburan 4 buah perusahaan perbankan yaitu merupakan gabungan dari Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, Bank Ekspor Impor
Indonesia. Pada saat itu bunga yang di keluarkan oleh kebijakan pemerintah
adalah 68.76% per tahun, kebijakan ini dimaksudnya agar jumlah uang yang
beredar semakin berkurang dan
merubah
pola pikiran dari masyarakat atupun investor untuk agar lebih menyukai menabung
daripada untuk mengkonsumsi suatu barang ataupun menginvestasikan dananya ke
tempat lainnya. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi investor untuk melakukan investasi
di pasar modal khususnya saham, dan akan berdampak terhadap harga pasar saham
di bursa. Selain itu krisis ekonomi juga menyebabkan variabel-variabel ekonomi,
seperti suku bunga, inflasi,
nilai
tukar maupun pertumbuhan ekonomi mengalami perubahan yang cukup tajam. Suku
bunga meningkat sampai mencapai angka 68,76% pertahun pada tahun 1998, demikian
juga inflasi mencapai angka 77% pertahun.(Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia,
1998).
Dilanjutkan tahun 1998 yang merupakan
awal runtuhnya perekonomian nasional Indonesia,yang diakibatkan krisis ekonomi
yang melanda di indonesia dan ditandai dengan turunnya kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan Indonesia yang mengakibatkan hampir
semua
kegiatan ekonomi terganggu. Dampak lain dari menurunnya kepercayaan masyarakat
berimbas sampai ke pasar modal terutama berdampak pada sektor finance yaitu
perbankan. Harga-harga saham menurun secara tajam sehingga menimbulkan kerugian
yang cukup besar bagi investor pada saat itu. Sehingga untuk mengurangi
kerugian
yang
dilanda oleh investor maka Bapepam dengan cekatan memberhentikan perdagangan
saham guna untuk melindungi investor dari kerugian yang lebih besar lagi.
Dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yaitu menaikkan suku bunga maka secara
angsur - berangsur perekonomian indonesia pulih dari krisis ekonominya dan
akhirnya pertumbuhan perkonomian indonesia berkembang cukup signifikan. Pasar
modal pun juga turut ikut adil dalam perkembangan ini seiring dengan tingkat
pertumbuhan perekonomian indonesia.
Bank – bank di indonesia mulai menunjukkan
eksistensinya dalam menggerakan perekonomian indonesia karena bank saat ini
sangat dibutuhkan di dalam suatu perokonomian suatu negara untuk menstabilkan
jumlah uang yang beredar di masyarakat karena bukannya hal yang mustahil jika
uang yang beredar itu tidak bisa di kontrol maka kejadiaan tahun 1997-1998 bisa
terulang kembali dan untuk mencegah hal itu sangat penting dari pemerintah
untuk memberi tugas kepada Bank Indonesia untuk menjaga perekonomian indonesia dengan
stabil dengan salah satu caranya adalah dengan meningkatkan atau menurunkan
suku bunga indonesia (SBI) atau dengan menekankan pada kebijakan uang beredar
tersebut. Perkembangan perekonomian dan sektor perbankan di indonesia cukup
baik sampai akhirnya mulai mengalami kemunduran lagi pada sekitar tahun 2007–2008.
Hal tersebut terjadi bukan semata-mata karena kesalahan pemerintah Indonesia
dalam menentukan kebijakaannya akan tetapi, krisis ini disebabkan oleh krisis
yang dialami oleh negara adidaya yaitu Amerika Serikat. Dengan adanya krisis
yang melanda negara Amerika Serikat ini maka sacara langsung ataupun tidak
langsung akan mempengaruhi negara-negara lainnya, karena banyak sekali perekonomian
yang ada di amerika serikat ini berhubungan dengan negara-negara lainnya,
sehingga perdagangan internasional pun jadi ikut terganggu. Lalu selain itu,
negara eropa pun juga ikut-ikutan anjlok karena masih belum bisa untuk
memperbaiki sektor perbankannya. Faktor penting terjadinya krisis keuangan
Eropa adalah faktor krisis utang di negara Yunani. Krisis utang Eropa berasal
dari Yunani, yang kemudian merembet ke Irlandia dan Portugal. Ketiga negara tersebut
memiliki utang yang lebih besar dari pada GDP-nya, dan juga sempat mengalami
defisit (pengeluaran negara lebih besar dari GDP). Krisis mulai terasa pada
akhir tahun 2009 dan semakin seru dibicarakan pada pertengahan tahun 2010. Pada
tanggal 2 Mei 2010, IMF akhirnya menyetujui paketbail out (pinjaman) sebesar €110
milyar untuk Yunani, €85 milyar untuk Irlandia dan €78 milyar untuk
Portugal. Kemudian kekhawatiran akan terjadinya krisis pun
berhenti sejenak. Efek dari krisis Eropa ini cukup berdampak kepada IHSG, yang
ketika itu anjlok besar-besaran dari posisi 2,971 ke posisi 2,514.
B. Pengertian Uang Beredar
Jumlah uang beredar adalah nilai
keseluruhan uang yang berada di tangan masyarakat. Jumlah uang beredar dalam
arti sempit (narrow money) adalah jumlah uang beredar yang terdiri atas uang
kartal dan uang giral.
M1= C+D
Dimana:
M1
= jumlah uang yang beredar dalam arti sempit
C
= Uang kartal
D
= uang giral atau cek
M2 = M1 + TD
Dimana:
M2
= jumlah uang beredar dalam arti luas
TD
= deposito berjangka (time deposit)
Secara
teknis, yang dihitung sebagai jumlah uang beredar adalah uang yang benar-benar
berada di tangan masyarakat. Uang yang berada di tangan bank (bank umum dan
bank sentral), serta uang kertas dan logam (kuartal) milik pemerintah tidak
dihitung sebagai uang beredar. Perkembangan jumlah uang beredar mencerminkan
atau seiring dengan perkembangan ekonomi. Biasanya bila perekonomian bertumbuh
dan berkembang, jumlah uang beredar juga bertambah, sedang komposisinya
berubah. Bila perekonomian makin maju, porsi penggunaan uang kartal makin
sedikit, digantikan uang giral atau near money. Biasanya juga bila perekonomian
makin meningkat, komposisi M1 dalam peredaran uang semakin kecil, sebab porsi
uang kuasi makin besar. Variable indicator ekonomi lainnya yang turut
mempengaruhi harga saham adalah nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika.
Pada dasarnya nilai mata uang asing akan terus mengalami fluktuasi disetiap
periode waktu tertentu. Hal ini tentu akan mempengaruhi kegiatan investasi di
pasar modal Indonesia karna kita tahu bahwa investor yang paling banyak
menanamkan modalnya di Indonesia adalah investor asing. Selain itu pasar modal
merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu Negara.
C. PERKEMBANGAN
UANG BEREDAR DI INDONESIA
Perekonomian Moneter Permulaan
Kemerdekaan Indonesia (1945-1959)
Bangsa Indonesia merdeka pada tahun 1945,
sedangkan suatu bangsa yang merdeka harus memiliki mata uang sendiri dalam
system moneternya. Maka pada setahun berikutnya, tepat pada bulan oktober
1946 pemerintah Indonesia mengeluarkan mata uangnya sendiri yaitu Oeang
Repoeblik Indonesia (ORI).
Setelah diberlakukannya mata uang
ORI, mata uang sebelumnya, uang Jepang sudah tidak berlaku lagi. Pada saat
tersebut system moneter murni milik Indonsia telah berlaku. Mengingat
tahun-tahun pertama uang ORI, peredaran uang Indonesia mengalami pertumbuhan yang
lambat. Pemerintah saat itu hanya fokus kepada pertahanan keamanan bangsa,
bagaimana mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda.
Setelah kestabilan pertahanan
keamanan tercipta, presiden soekarno sebagai presiden pada masa orde lama mulai
memperhatikan kondisi perekonomian bangsa, dimulai dengan membangun
infrastruktur, menciptakan kestabilan harga, memciptakan kondisi ekonomi yang
sehat.
Perekonomian Moneter Periode 1959 -
1965
Perekonomian Indonesia mulai
mengalami shock pada tahun 1959, perekonomian mengalami resesi,
meningkatnya inflasi melebihi pertumbuhan ekonomi dimana pertumbuhan
ekonomi hanya berkisar 2%. Pemerintah mengambil kebijakan pengetatan moneter
untuk mengatasi tekanan moneter. Kebijakan ini tertuang pada UU No.2 dan UU No.
3 tahun 1959. Pemerintah mengambil kebijakan menurun jumlah uang beredar dengan
melakukan sanering yaitu menurunkan nilai mata uang Rp 500 dan Rp 1000 menjadi
Rp 50 dan Rp 100. Pemerintah juga membekukan simpanan giro dan deposito dan
melakukan pembatasan pemberian kredit secara kuantitatif dan kualitatif.
TItik puncak shock ekonomi yang terjadi pada periode
1960-an adalah akibat pengeluaran pemerintah membekak tajam. Program-program
mercusuar menambah kan pembiayaan-pembiayaan negara. Meningkatnya pengeluaran
pemerintah tidak diimbangi dengan kenaikan penerimaan. Defisit anggaran ini
dibiayai oleh pinjaman dari Bank Sentral sehingga uang beredar meningkat tajam
mencapai 1000% pada akhir 1966.
Kenaikan uang beredar yang tinggi tidak mendongkrak
pertumbuhan ekonomi. Sehingga hal ini mendorong terjadi hiperinflasi yang
mencapai 635%. Hiperinflasi menurunkan minat masyarakat untuk menabung.
Akhirnya perbankan kesulitan mendapatkan dana untuk bisa dijadikan modal
pemberian kredit. Melihat kondisi tersebut, perbankan hanya bisa meminjamkan
dana pada bank sentral. Namun kredit dari bank sentral pada dasarnya merupakan
penciptaan uang yang mengakibatkan jumlah uang beredar semakin bertambah.
Perekonomian Moneter Periode 1965 –
1969
Hiperinflasi yang terjadi menuntut
pemerintah mengambil kebijakan sanering lagi dari Rp 1000 menjadi Rp 1 sehingga
pada saat itu terdapat uang rupiah lama dan rupiah baru.
Pemerintah juga menggunakan instrument moneter berupa
kebijakan suku bunga tinggi, untuk mendorong hasrat masyarakat untuk menabung
melalui perbankan , sekaligus mengurangi jumlah uang yang beredar. Kebijakan
ini berjalan dengan sukses, dimana deposito berjangka meningkat dari Rp 4,5
miliar tahun menjadi Rp 33.,6 tahun 1969.
Pada kebijakan fiskal, pemerintah
mengambil kebijakan anggaran belanja berimbang. Tujuan adalah agar keuangan
pemerintah tidak lagi di topang dari pinjaman Bank Sentral, tapi dari
pembiayaan luar negeri. Sehingga tidak mempengaruhi uang yang beredar.
Dalam meningkatkan devisa, pemerintah melonggarkan pengawasan
devisa dengan menurunkan tarif ekspor dan impor dan memberikan izin bank asing
untuk beusaha di dalam negeri.
Perekonomian Moneter Periode 1969 –
1972
Kestabilan moneter yang dicapai
menjadi dasar pemerintah untuk mendorong iklim investasi. Bidang moneter,
pemerintah menyediakan kredit investasi dengan suku bunga rendah, sedangkan
untuk meningkatkan devisa negara, pemerintah melakukan system devisa bebas dan
ketentuan nilai tukar tetap yaitu Rp 425 per US$.
Periode tersebut, uang beredar lebih berdampak pada
kebijakan suku bunga tinggi yang mendorong pengerahan dana masyarakat dan
meningkatnya uang kuasi. Kebijakan kontraktif terhadap uang beredar
meningkatkan uang kuasi dengan cepat sebesar 785,2% atau rata-rata pertahun
196,3%. Lalu kebijakan kontraktif atas rekening cadangan dan rugi-laba
perbankan.
Perekonomian Moneter Periode 1973-
1978
Pada periode ini inflasi terjadi lagi di Indonesia
hingga 47,4% tahun 1974. Tapi kali inflasi terjadi karena pengaruh ekspansif
sektor luar negeri karena kenaikan harga minyak dan arus modal jangka pendek,
serta sektor perkreditan (sebesar 18,7%).
Langkah yang diambil pemerintah untuk lebih meredam
uang yang beredar adalah melakukan penetapan aktiva neto dan penetapan suku
bunga bank-bank. Paket kebijakan tersebut meningkatkan simpanan dalam bentuk
deposito berjangka dan menurunkan pertumbuhan kredit.
Perekonomian Moneter Periode 1979 –
1982
Dalam periode ini uang beredar meningkat rata-rata 28%
pertahun dengan tingkat inflasi 14% pertahun. Jumlah uang beredar secara riil
menunjukkan peningkatan. Kebijakan pemerintah dalam meredam peningkatan inflasi
adalah melakukan devaluasi nilai rupiah.
Perekonomian Moneter Periode
1983 – 1989
Tahun 1983 terjadi resesi dunia yang disebabkan oleh
turunnya harga minyak bumi dunia secara tajam. Resesi dunia ini berdampak pada
perekonomian Indonesia, walaupun tingkat inflasi tidak terlalu tinggi tetapi
menimbulkan ekonomi biaya tinggi, inefisiensi dan distorsi pasar.
Pemerintah akhirnya mengambil tindakan mereformasi
aturan institusi-institusi perbankan untuk lebih bertindak indenpenden. Campur
tangan pemerintah dikurangi dalam system moneter. Kebijakan pemerintah pada
saat itu adalah melakukan deregulasi di bidang perbankan (Deregulasi 1 Juni
1983).
Deregulasi tersebut adalah:
1. Penghapusan pagu kredit perbankan
2. Pemberian kebebasan kepada bank-bank untuk
menetapkan sendiri kebijakan perkreditan perbankan, dan kebijakan suku bunga.
3. Penyediaan kredit hanya diperuntukkan bagi
program-program yang berprioritas tinggi
Dengan adanya reformasi di system
moneter jumlah uang beredar lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku bank-bank
dalam kebebasan menetapkan suku bunga atau pemberian kredit pada sektor-sektor
produktif.
Tahun 1987/1988 pasar uang telah
tumbuh subur, jumlah uang beredar meningkat terus baik itu uang M1 maupun M2.
Pengetahuan masyarakat akan pasar uang menjadikan pasar uang sebagai salah satu
usaha untuk mengeruk keuntungan secara cepat dengan melihat dari perubahan
bunga dari instrument perbankan, mereka ini disebut dengan spekulan. Untuk
menanggulangi dampak negative dari tindakan spekulan, Bank Indonesia mengambil
serangkaian kebijakan moneter yang ketat. Usaha tersebut dilakukan dengan
menaikkan suku bunga SBI dan fasilitas diskonto, tingkat rediskonto, dan menurunkan
SPBU secara bertahap.
Tahun 1988 dan 1989 pemerintah
mengeluarkan paket kebijakan dengan tujuan meningkatkan pengerahan dana
masyarakat, ekspor non-migas, efisiensi lembaga keuangan dan perbankan,
pengendalian kebijakan moneter dan iklim pengembangan pasar modal mengeluarkan
dengan cara
1. Kemudahan
Pembukaan Kantor Bank
2. Bank
Diperkenankan menyelenggarakan Tabungan
3. Dana
BUMN boleh di Bank swasta
4. Giro
wajib minimumkan diturunkan
5. Perkembangan
pasar modal
6. Pembentukan
bursa parallel
Perekonomian Moneter Periode
1990-1996 (sebelum krisis)
Tahun 1990 pemerintah mengeluarkan kebijakan
penyempurnaan system perkreditan nasional. Yaitu pemberian kredit perbankan
dalam membiayai kebutuhan modal kerja dan investasi dunia usaha. Uang kuasi
juga meningkat karena meningkatnya kegiatan bank-bank menghimpun dana
masyarakat sebagai dampak diberinya kebebasan perbankan untuk menyelenggarakan
tabungan deposito. Periode ini pereokonomian lebih bergairah dibandingkan
periode sebelumnya. Banyak bermunculan bank-bank baru dan dunia usaha.
Perekonomian Moneter Periode
1997 – 2000 (saat krisis)
Periode ini bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi
lagi dengan tingkat 77,6%. Krisis ini disebut dengan krisis moneter karena
permulaannya krisis tersebut berasal dari indokator-indikator ekonomi, seperti
merosotnya nilai tukar rupiah, kondisi arus kas perbankan yang menurun dan
pinjaman public yang melonjak drastis. Menurunnya keuangan perbankan berdampak
pada ketidakpercayaan nasabah terhadap bank. Mereka beramai-ramai mencairkan
simpanannya di bank, hal ini memperparah krisis yang terjadi.
Uang beredar meningkat karena masyarakat, dunia usaha
dan lembaga keuangan mengganti rupiah dengan valuta asing untuk keperluan
membayar utang valas.
Pemerintah mengambil kebijakan dengan memberikan
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satu komponen BLBI merupakan
pemberian dari Bank Indonesia ke bank-bank untuk dijadikan konversi saldo giro
negative, yaitu menutupi kekurangan warkat tagihan suatu bank dari jumlah
warkat yang dikliringkan. Komponen yang lain dana talangan untuk membayar
kewajiban luar negeri dan likuiditas 16 bank serta fasilitas saldo debet.
Program restrukturisasi perbankan membutuhkan biaya
665 triliun rupiah, sehingga menambah jumlah uang yang beredar.
Perekonomian Moneter Periode
Setelah Krisis
Perekonomian moneter yang membaik setelah krismon,
perekonomian moneter kembali normal. Jumlah uang beredar setelah krismon hanya
berdampak saat terjadi pemilu presiden tahun 2005. Peredaran
uang meningkat dikarenakan untuk biaya-biaya kampanye para calon
presiden juga biaya untuk pemilihan umum itu sendiri. Pemerintah juga
mengeluarkan biaya tambahan pos belanja social dari bencana-bencana yang sering
terjadi di Indonesia
Perekonomian indonesia pada tahun 2007 sampai tahun
2009 jika dibandingkan negara-negara lain maka sektor perbankan indonesia terbilang
cukup kuat dalam menghadapi krisis ekonomi yang melanda dunia hal ini
dikarenakan Indonesia telah belajar banyak dari kesalahannya pada tahun
1997-1998 sehingga pada tahun 2007 perekonomian indonesia tidak terkena dampak
terlalu parah akibat dampak dari krisis dari perekonomian internasional yang
melanda negara-negara Eropa dan Amerika Serikat tapi tetap di Indonesia ikut terkena
imbasnya walaupun tidak terlalu signifikan.
D.
Tabel Tingkat Suku Bunga Indonesia Pada Periode 2007-2012
Untuk mengetahui bagaimana perkembangan suku bunga
di Indonesia yang di tetapkan oleh kebijakan pemerintah Indonesia. Mari kita
lihat tabel dibawah ini untuk jelasnya. Periode tahun yang dipakai pada
penelitian saya adalah dari tahun 2007 – 2012 , dan data di peroleh dari
situs resmi Bank Indonesia yaitu www.bi.go.id dengan data yang sudah diolah.
BULAN
|
TAHUN
2007
|
TAHUN
2008
|
TAHUN
2009
|
TAHUN
2010
|
TAHUN
2011
|
TAHUN
2012
|
||||
BI RATE
|
BI RATE
|
BI RATE
|
BI RATE
|
BI RATE
|
BI RATE
|
|||||
JANUARI
|
9.50%
|
8.00%
|
8.75%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.00%
|
||||
FEBUARI
|
9.25%
|
8.00%
|
8.25%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
MARET
|
9.00%
|
8.00%
|
7.75%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
APRIL
|
9.00%
|
8.00%
|
7.50%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
MEI
|
8.75%
|
8.25%
|
7.25%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
JUNI
|
8.50%
|
8.50%
|
7.00%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
JULI
|
8.25%
|
8.75%
|
6.75%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
AGUSTUS
|
8.25%
|
9.00%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
SEPTEMBER
|
8.25%
|
9.25%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.75%
|
5.75%
|
||||
OKTOBER
|
8.25%
|
9.50%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.50%
|
5.75%
|
||||
NOVEMBER
|
8.25%
|
9.50%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.00%
|
5.75%
|
||||
DESEMBER
|
8.00%
|
9.25%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.00%
|
5.75%
|
||||
TAHUNAN
|
8.00%
|
9.25%
|
6.50%
|
6.50%
|
6.00%
|
5.75%
|
|
|||
Sumber : www.bi.go.id
data yang sudah diolah
Kita bisa
melihat pada table diatas bahwa pada awal 2007 tingkat suku bunga di Indonesia
cukup tinggi yaitu 9.50% sampai pada akhir tahun 2007 suku bunga lambat laun
turun menjadi 8.00% dan bertahan sampai april tahun 2008. Pada bulan mei tingka
suku bunga
Indonesia
semakin lama semakin meningkat sampai dengan bulan november mungkin ini
disebabkan karna perekonomian internasional belum stabil karena banyak krisis
yang di alami terutama krisis amerika serikat dan eropa khususnya Negara
Yunani. Pada akhir tahun 2008 suku bunga turun 0.25% dan lambat laun suku bunga
turun samapai bulan agustus
2009
dan tingkat bunga Indonesia saat itu adalah 6.50% . lalu setelah itu kurang
lebih satu setengah tahun tingkat suku bunga Indonesia stag pada tingkat suku
bungan 6.50% ini biasa menandakan bahwa perekonomian dari internal maupun
eksterenal cukup stabil sehingga
tingkat
suku bunga tersebut tertap terjaga. Pada tahun 2011 tingkat suku bunga sempat
naik ke posisi tertingginya tahun itu adalah sebesar 6.75% dan mendekati akhir
tahun suku bunga pun menurun sampai tingkat suku bunga pada titik 6.00%. Pada
akhir tahun 2012 pun tingkat suku bunga menurun hingga akhir tahun mencapai
5.75%. Dalam penalaran pers Bank Indonesia memberitahukan bahwa Bank Indonesia
pada tanggal 11 Desember 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar
5,75%. Tingkat suku bunga tersebut
dinilai
masih konsisten dengan tekanan inflasi yang rendah dan terkendali sesuai dengan
sasaran inflasi tahun 2013 dan 2014, sebesar 4,5% ± 1%. Evaluasi terhadap
kinerja tahun 2012 dan prospek tahun 2013-2014 secara umum menunjukkan bahwa
perekonomian domestik tumbuh tetap baik dengan stabilitas yang terjaga. Ke
depan, dengan mencermati risiko perekonomian global, Dewan Gubernur akan
memperkuat kebijakan untuk mengelola keseimbangan eksternal ke tingkat yang
berkesinambungan dengan tetap memberikan dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi
domestik. Bank Indonesia meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial serta dukungan koordinasi dengan Pemerintah akan mampu menjaga
kestabilan ekonomi makro dan kesinambungan pertumbuhan ekonomi nasional. Stabilitas
sistem keuangan dan fungsi intermediasi perbankan tetap terjaga dengan baik.
Kinerja industri perbankan yang solid tercermin pada tingginya rasio kecukupan
modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan
terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%.
Sementara itu, pertumbuhan kredit hingga akhir Oktober 2012 mencapai 22,8% , sedikit
melambat dari 22,9% pada bulan sebelumnya. Perlambatan terutama pada kredit
konsumsi yang tumbuh sebesar 18,9% , Kedepan, Bank Indonesia meyakini
stabilitas sistem keuangan akan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi.
Rapat
Dewan Gubernur Bank Indonesiapada 13 Juni 2013 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan pada level 6%. Seiring keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan BI ratesebesar 25 basis poin, Lembaga
Penjaminan Simpanan (LPS) memutuskan ikut menaikkan tingat bunga penjaminan sebesar 25 bps
untuk periode 15 Juni 2013 hingga 14 September 2013. Dengan demikian, tingkat
bunga penjaminan untuk denominasi rupiah naik menjadi 5,75%. Keputusan LPS
menaikkan tingkat penjaminan simpanan didasarkan pada kenaikan BI rate sebagai respons peningkatan ekspektasi inflasi serta untuk
memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.
Cadangan
devisa Indonesia kembali menguat mencapai posisi USD 107,27 miliar pada April
2013, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya tercatat sebesar USD 104,80
miliar. Kenaikan cadangan devisa tersebut dipicu oleh penerbitan surat utang
internasional (global bond) milik pemerintah pada bulan April 2013. Total penerbitan surat
utang internasional tersebut adalah sebesar USD 3 miliar yang terbagi atas USD
1,5 miliar untuk tenor 10 tahun dengan kupon 3,34%, dan USD 1,5 miliar untuk tenor 30 tahun dengan kupon 4,63%.
Meskipun
cadangan devisa kembali menguat pada April 2013, namun posisinya masih lebih
rendah dibandingkan pada Agustus 2011. Saat itu cadangan devisa Indonesia
mencapai USD 124,6miliar, rekor tertinggi sejak Indonesia merdeka. Namun pada akhir Mei 2013
kembali turun pada posisi USD 105,149 miliar.
E. Jumlah Uang
Beredar Tahun 2009-2013
Secara umum, bank sentral mencatat
adanya peningkatan dalam jumlah uang beredar M1 dan M2 menjadi IDR 836,51
triliun dan IDR 3.364,12 triliun pada April 2013. Jika dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya, M1 dan M2 meningkat masing-masing sebesar
16% dan 15%.
Semakin
banyak jumlah uang yang beredar maka nilai tukar Rupiah cenderung akan melemah
dan harga-harga akan meningkat. Pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi
sering kali juga menjadi penyebab tingginya inflasi karena meningkatnya jumlah
uang beredar akan menaikkan permintaan yang pada akhirnya jika tidak diikuti
oleh pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya harga.
Gambar 4 : Jumlah Uang
Beredar, Tahun 2009 – 2013* (dalam IDR Triliun)
Pada April 2013 M1
meningkat 16% dan M2 naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya
Sumber : Bank
Indonesia dan CEIC (2013)
DAFTAR PUSTAKA
Comments
Post a Comment