makalah Otonomi Daerah PKN
UNIVERSITAS MALUKUSSALEH
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur panjatkan kehadirat Tuhan yang
Maha Esa karena berkat rahmatnya penyusun dapat berhasil menyelesaikan makalah
yang berjudul “Otonomi Daerah”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah PKN.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang otonomi daerah. Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi Pendahuluan, Bab II berisi Pembahasan, dan Bab III berisi kesimpulan.
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan.
Somoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat luas.
Dalam makalah ini dijelaskan tentang otonomi daerah. Makalah ini terdiri dari tiga bab. Bab I berisi Pendahuluan, Bab II berisi Pembahasan, dan Bab III berisi kesimpulan.
Dengan adanya makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan.
Somoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat luas.
Lhokseumawe, 12 Desember 2012
Penyusun,
SAYFULLAH
NIM :
120430038
DAFTAR ISI
Uraian
Halaman
Kata Pengantar……………………………………………………...
i
Daftar
isi…………………………………………………………….
ii
Bab I. Pendahuluan………………………………………………….
1
A. Latar
Belakang………………………………………………
B. Rumusan
Masalah…………………………………………...
Bab II. Pembahasan………………………………………………...
2
A. Pengertian Otonomi
Daerah………………………………..
B. Prinsip dan Tujuan
Otonomi
Daerah……………………… 3
C. Implementasi Otonomi Daerah di
Indonesia………………
5
D. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia………
7
E. Perubahan Budaya
Pada Pelaksanaan Otonomi
Daerah…… 9
Bab III. Penutup……………………………………………………
13
A.
Kesimpulan………………………………………………...
B. Saran
………………………………………………………
Daftar
Pustaka……………………………………………………. 14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi
peristiwa besar di Indonesia mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh
masyarakat dunia. Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun
1997 demikian dahsyat sehingga mampu menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang
dianggap sudah tidak populer untuk memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan
dengan terjadinya gerakan Reformasi marak pula isu-isu heroik yang
berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya
pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin,
pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), pemberdayaan masyarakat,
pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi daerah , dan masih banyak
isu-isu lainnya.
Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan
akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan harapan
masyarakat, ditambah dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut
di atas adalah pemerintah Orde Baru yang dianggap melaksanakan
pemerintahan sentralistik, otoriter dan korup. Dengan jatuhnya
pemerintahan Orde Baru semakin gencar pula tuntutan masyarakat, baik di
tingkat elite pusat maupun daerah untuk memberlakukan otonomi daerah
secara lebih luas .
Otonomi daerah sebagai suatu sistim pemerintahan di
Indonesia yang desentralistis bukan merupakan hal yang baru.
Penyelenggaraan otonomi daerah sebenarnya sudah diatur dalam UUD 1945. Walaupun
demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah belum
menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan
pemerintahan Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi
daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera
dilaksanakan. Tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi
daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang
tersebut, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu dari pemerintahan
sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi
daerah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilaksanakan
setelah dua tahun sejak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman
Wahid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari
2001.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang terdapat dari latar belakang tersebut adalah :
1.
Bagaimanakan Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia ?
2.
Bagaimana dampak pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ?
3.
Bagaimana perubahan budaya dari akibat pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang
berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan
sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu
Suryaninrat; 1985).
Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1.
F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng
Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh,
berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat
lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah
pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara
secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood
(1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang
mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang
diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang
substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979)
bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk
membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah.
Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi
daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai
dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut
adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan
demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan
urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih
bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan
dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan
kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada
kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan
daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah
dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak
dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya
mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek
Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
2. Aspek
kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di
atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3. Aspek
kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan
kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber
pembiayaan sendiri.
Yang
dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah
daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan,
pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong
pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah
adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan
kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan
demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun
2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1.
Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijaksanaan sendiri.
2.
Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3.
Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4.
Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
B. Prinsip
dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi
daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal
sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan
otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan
yang jelas.
Daerah
otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan
demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan
otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah
provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas
kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan
kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh
provinsi.
Secara
konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih
banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota.
Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya
berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara
nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum
menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada
prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan
serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu
adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan
bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam
penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan
serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan
otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud
tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan
pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Atas dasar
pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c.
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten
dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang
terbatas.
d.
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap
terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom,
dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f.
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g.
Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai
wakil daerah.
h. Pelaksanaan
azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah,
tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan
pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban
melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun
tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan
dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan
bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a. Mengemukakan
kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah
air Indonesia.
b.
Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang
perekonomian.
C. Implementasi Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani) mempunyai pengertian mengatur diri
sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan
masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna
otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak , wewenang dan kewajiban untuk
mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan peundang-undangan yang
berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14
menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam
otonomi daerah memberikan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan daerah
yang lebih participatory. Tanpa
upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang
diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan
kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari
desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus
disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan,
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan
keanekaragaman daerah yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat
kabupaten dan kotamadia.
Implementasi otonomi daerah dapat dilihat dari
bebagai segi yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan penggalian
potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada
pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang
dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan
negara dan bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan berorientasi pada
pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pembangunan di berbagai
daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah
sudah disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin
negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara saat ini
sudah memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang
demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada
daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola
pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu
melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan
cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan inovasi dan
meningkatkan kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk
mewujudkan “daerah membangun“ (bukan “membangun daerah”), dapat
segera tercapai. Otonomi daerah memberikan harapan cerah kepada daerah
untuk lebih meningkatkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan
dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal lain
yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi
pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara demokratis ,
sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi dan
permasalahan yang ada di daerah.
Pada kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan
penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan sampai saat ini
tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah
yang tidak mulus adalah karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa
yang menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap
melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu
kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah dan
berkuasa secara absolut dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan
otonomi daerah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu pada
masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk
menerapkan otonomi daerah di 26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974, tetapi tidak ada hasilnya.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap
pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi
daerah sudah sangat mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di
lain pihak pemerintah juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat
pula. Hal ini terlihat pada kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang
masih ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber
keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain , yang juga dapat
mengancam pelaksanaan otonomi daerah adalah otoritas pemerintah untuk mencabut
otonomi yang telah diberikan kepada daerah. Selama kurang lebih
empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia, pemberdayaan
daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara
optimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan
masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program pembangunan
tidak menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan di daerah
cenderung masih bersifat top down
daripada bottom up planning
.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi
daerah dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus
selalu diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi
daerah merupakan suatu subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang
utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political
will) dari semua pihak seperti pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak dapat memperkuat
tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan melalui
pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat
membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya.
Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat
dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya .
D. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah
Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka,
otonomi daerah turut mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa
Orde Lama otonomi daerah belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan
negara yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter
dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa
pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan
masih cenderung bersifat sentralistis dan otoriter . Selain itu pada kedua masa
tersebut banyak terjadi distorsi kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah.
Tentu saja kita belum dapat melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan
otonomi daerah pada kedua masa itu, karena pada kenyataannya otonomi daerah
belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah banyak Undang-undang dan
peraturan yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Pada masa Reformasi tuntutan untuk melaksanakan
otonomi daerah sangat gencar sehingga pemerintah secara serius pula
menyusun kembali Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui
masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah
tersebut,maka otonomi daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001,
pada masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4
tahun otonomi daerah diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua
kelompok masyarakat yang berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi ada masyarakat yang
pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah,
mengingat pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu.
Kelompok masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan ataupun
menuntut program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi daerah. Di
sisi yang lain ada kelompok masyarakat yang sangat optimis terhadap
keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini cukup aspiratif dan
didukung oleh hampir seluruh daerah dan seluruh komponen.
Antusiasme dan tuntutan untuk segera melaksanakan
otonomi daerah juga berdatangan dari kelompok-kelompok yang secara
ekonomis dan politis mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Selain itu masyarakat yang masih dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap
otonomi daerah adalah kebebasan tanpa batas untuk melaksanakan pemerintahan
sesuai dengan harapan dan dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya
sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini,
menganggap otonomi daerah memberikan harapan cerah untuk meningkatkan kehidupan
mereka. Harapan yang besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah
mengakibatkan daerah-daerah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli
daerah (PAD). Berbagai contoh upaya gencar daerah-daerah untuk meningkatkan PAD
dengan cara yang paling mudah yaitu dengan penarikan pajak dan retrebusi
secara intensif. Contoh lain, tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang
memperebutkan batas wilayah yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi.
Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga terjadi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris,
primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan otonomi daerah sehingga
dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah
seperti tersebut di atas, juga ada dampak positif yang memberikaan harapan
keberhasilan otonomi daerah. Suasana di daerah-daerah dewasa ini cenderung
saling berpacu untuk meningkatkan potensi daerah dengan berbagai macam cara.
Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat
umumnya diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan
inovasi diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan
sumberdaya yang dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang
dapat menjadi potensi andalan dari daerah. Selain itu otonomi daerah memacu
menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, memacu kompetisi
yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi .
E. Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan
Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah di berbagai daerah di
Indonesia telah menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif
seperti beberapa contoh yang telah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi
daerah juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat
Indonesia.
Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas
menurut E.B.Tylor adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat melalui
proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian
sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya dan karsa manusia untuk
mengungkapkan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian kebudayaan dalam arti
sempit adalah berupa hasil-hasil kesenian.
Perubahan kebudayaan yang akan dibahas dalam tulisan
ini difokuskan pada bahasan kebudayaan dalam arti luas, dalam arti perubahan
perilaku pemerintah dan masyarakat yang terkait dengan bidang politik,
pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara umum
dan tidak mengupas seluruh aspek dari bidang-bidang tersebut.
Sejalan dengan tekat pemerintah untuk melaksanakan
otonomi daerah, maka telah terjadi perubahan-perubahan paradigma (Warseno dalam
Ambardi dan Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu antara lain :
Paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi
Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
·
Paradigma yang menjadikan masyarakat
sebagai obyek pembangunan ke masyarakat yang menjadi subyek pembangunan.
- Paradigma dari otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab ke otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
Paradikma dari organisasi yang tidak efisien ke organisasi yang efisien .
Paradigma dari perencanaan dan pelaksanaan program yang bersifat top down ke paradigma sistem perencanaan
campuran top down dan bottom- up.
Perubahan paradigma ini juga merubah budaya masyarakat
dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Perubahan paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi
telah menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa
menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang
mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi
pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah
Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan aktivitas perencanaan,
pelaksanaan sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di
daerahnya. Selain itu daerah dituntut kemampuannya untuk membiayai
sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya manusia
yang berkualitas, kreatif, inovatif , yang diharapkan dapat menghasilkan
pemikiran , konsep dan kebijakan dalam rangka mencari sumber pembiayaan
pembangunan tersebut. Perubahan paradigma dalam waktu yang relatif singkat,
tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan masyarakat memahami
sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun
demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah daerah dan masyarakat mulai
belajar menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah
pada efisiensi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi dan
kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan. Beberapa contoh
dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah di daerah giat
mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan mengembangkan ketrampilan dan
keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal.
Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur birokrasi yang bertele-tele, dengan
tujuan untuk efisiensi .
Iklim keterbukaan yang mewarnai otonomi daerah telah
membawa perubahan pada perilaku masyarakat yang semula tidak diberi kesempatan
untuk mengetahui dan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dalam
program-program pembangunan. Keadaan ini kemudian melahirkan sikap-sikap yang
kadang-kadang sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam dengan penerapan
sistim demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintahan juga harus
dipertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka. Pada awal masa reformasi
kita dapat melihat maraknya demonstrasi masyarakat yang kadang-kadang sangat
brutal dan kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yang dianggap
telah menyimpang dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya
diadili atau mengundurkan diri. Masyarakat seolah-olah sudah tidak
mempunyai kepercayaan kepada lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi mereka,
sehingga tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yang sangat umum.
Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yang menimpa Bupati Temanggung
yang baru-baru ini diminta oleh hampir seluruh masyarakat Temanggung untuk
mengundurkan diri, karena dianggap telah melakukan korupsi. Bahkan para pegawai
negeri di Temanggung melakukan demonstrasi dan mogok kerja sebagai protes
terhadap Bupati. Tentu saja kalau kita melihat secara proporsional pada
tindakan masyarakat terutama para pegawai negeri, tindakan mogok kerja tersebut
merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan dapat dikenakan sanksi karena para
pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan kepada masyarakat.
Otonomi daerah yang bertujuan untuk pengelola daerah
atas prakarsa sendiri dalam beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh
di beberapa daerah telah disusun hukum dan peraturan yang disesuaikan dengan
kultur (budaya) masyarakat dan perjalanan sejarah daerah tersebut. Ada beberapa
contoh daerah yang telah menyusun peraturan dan hukum berdasarkan
syariat atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) telah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang
terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yang mengundang pro-kontra ini
dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yang melandasi hukum
cambuk adalah Undang-undang Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan
Keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001
Tentang Otonomi Khusus, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5/2000 Tentang
pelaksanaan Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan hukum cambuk bagi
yang melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor
10/2005 sebagai pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan Gubernur
ini setidaknya ditetapkan empat kasus yang pelakunya bisa dikenai hukum cambuk,
yaitu judi, berpasangan di tempat gelap dengan orang yang bukan muhrimnya,
minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, 2 Juli 2005). Hukum
Cambuk yang dilaksanakan di Nanggroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan
bertujuan untuk mempertontonkan kesadisan dan kekejaman dari penegak hukum di
sana, melainkan untuk membuat jera para pelaku tindak kriminal dan agar
masyarakat lebih berhati-hati serta melaksanakan syariat Islam dengan baik dan
benar.
Daerah lain yang juga mulai menerapkan aturan
berdasarkan syariat Islam adalah Cianjur. Di sana telah disusun
aturan yang menghimbau wanita muslim mengenakan jilbab serta himbauan
kepada suluruh muslim meninggalkan pekerjaannya untuk segera menunaikan sholat
ketika adhan berkumandang. Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa
sanksi moral dan sanksi sosial.
Perilaku masyarakat yang terkait dengan
penggalian dan pengembangan potensi ekonomi juga melahirkan
sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru.
Dalam upaya meningkatkan daya saing ini beberapa daerah harus memperhatikan
potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kultur dan pimpinan/pemegang
kebijakan. Kalau tidak, maka akan terjadi persaingan yang tidak sehat
antara kelompok masyarakat di daerah tersebut, persaingan antar daerah dan lain
sebagainya. Bahkan tidak jarang antar daerah saling berebut lahan atau sumber
daya alam yang menjadi sumber ekonomi . Kadang-kadang ambisi untuk meningkatkan
PAD melahirkan sikap “ rakus “ pada daerah-daerah. Daerah-daerah yang
sangat minim sumberdaya alamnya dipacu untuk melihat lebih jeli
peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau yang sering disebut
sebagai ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis
ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi rakyat dan sektor
informal mampu bertahan dan bahkan mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian daerah , sehingga
mampu menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa contoh
daerah yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setelah krisis ekonomi dan
tetap dapat bertahan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya adalah
Kabupaten Sukoharjo dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman.
Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti
karena industri kecil dan sektor informal yang dikembangkan di daerah tersebut
tidak tergantung pada bahan baku import dan melayani pasar lokal yang cukup
luas. Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa
Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan
ekonomi masyarakat melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yang semula
menjadi sumber masalah lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil
memanfaatkan sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara mengolah
sampah menjadi kompos atau pupuk organik dan dan barang kerajinan. Kita
tidak dapat memungkiri bahwa tidak semua daerah berhasil mengatasi krisis
ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Banyak daerah terutama di luar
Jawa yang tidak memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia yang memadai
patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Krisis ekonomi diindonesia belum tuntas juga, akibat
pemerintahan yang lambat atau birokrasi, diindonesia birokrasi sudah
dijalankan, pemerintah indonesia belum bisa mengatasi kemiskinan
diindonesia. kenapa tidak biasa ??,
karena pemerintah indonesia tidak mementingkan rakyatnya akan tetapi lebih
mementingkan dirinya sendiri atau kata lain memperkaya diri sendiri sedangkan
rakyatnya hidup menderita, seharusnya indonesia bisa mencontoh sistem
kepemerintahan
Negara
Amerika yang bisa mensejahterakan rakyatnya, dan dinegara mereka tidak adanya
kemiskinan negara mereka menerapkan sistem kesejahteraan rakyat, yaitu mengaji
setiap penduduk atau keluarga
Menurut
saya, itu sangat bagus dapat mengatasi kemiskinan yang belum tuntas-tuntasnya
diindonesai
Saya harap
indonesia kedepan bisa menerapkan sistem seperti itu dan mencontohnya,
berhubung indonesia memiliki banyak pulau, makanya dilakukannya otonomi daerah,
yang diterapkan presiden abbdurrahman wahid pada saat beliau menjabat presiden
tempo dulu.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Menginjak abad XXI ada kebutuhan yang sangat mendesak
untuk melaksanakan otonomi daerah. Pengalaman masa lalu yang kurang
menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi pegangan
kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakekat dan tujuannya yang
mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan bila dipahami
dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah menunjukkan
prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya
otonomi daerah secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan
komitmen yang tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat
untuk tetap konsisten melaksanakan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah
peluang untuk melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan
yang selama ini tiak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi masyarakat
untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan daya saing
di era globalisasi ini.
Budaya dan perilaku yang muncul sebagai akibat euforia
reformasi yang dapat menimbulkan “kontra produktif” harus diarahkan menjadi
kultur dan perilaku yang produktif dan konstruktif untuk mewujudkan otonomi
daerah yang sehat dan seimbang. Demikian juga budaya-budaya yang sudah sejak
lama tumbuh dalam mayarakat seperti patron
client, primordialisme, etnosentrisme, harus dikendalikan dan diarahkan
menjadi nilai positif yang mendukung pembangunan daerah yang berlandaskan
nilai-nilai religius, gotong royong , tenggang rasa dan sebagainya.
Dalam kurun waktu yang singkat tentu saja otonomi
daerah yang diberlakukan sejak awal tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor
22 /1999 masih menghadapi banyak masalah dalam pelaksanaannya. Penerapan
otonomi secara secara serentak di seluruh wilayah Indonesia hendaknya terlebih
dahulu tidak menerapkan otonomi secara penuh, sebab banyak daerah-daerah di
luar Jawa terutama yang belum siap menghadapi otonomi daerah. Dengan demikian
pelaksanaan otonomi daerah hendaknya melalui pentahapan yang disesuaikan dengan
sistim sosial-budaya masyarakat daerah.
B. Saran
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat membawa
pemerataan dan keadilan dalam pelaksanaan di masyarakat daerah khususnya kerana
berhasil atau tidaknya otonomi daerah tergantung pada daerah itu sendiri dan
diharapkan juga dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah dapat
menjamin terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya.
Daftar Pustaka
1. Mubyarto,
2000, Pemulihan Ekonomi Rakyat Menuju
Kemandirian Masyarakat Desa, Yogyakarta Aditya Media.
2. Mubyarto,
2001, Prospek Otonomi Daerah dan
Perekonomian Indonesia Pasca Krisis, Yogyakarta : BPFE.
3. Nugroho
D., Riant, 2000, Otonomi Daerah
Desentralisasi Tanpa Revolusi : Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi
di Indonesia.Jakarta : PT Elex Media Kompetindo
4. Soemardjan,
Selo (Ed.),2000, Menuju Tata
Indonesia Baru, Jakarta : PT Gramedia
5. UU No.22 tahun
1999 dan UU No.32 tahun 2004 , tentang
Pemerintah Daerah.
6. Prof.Drs.
HAW. Widjaja, , 2005, penyelenggaraan
otonomi daerah di indonesia, Palembang : Rajawali Pers.
7. http://silahkanngintip.blogspot.com/2011/02/pengertian-prinsip-dan-tujuan-otonomi.html
diakses pada 12-12-2012, 11.00 wite.
Comments
Post a Comment